Selasa, 24 Desember 2013

Penafsiran Ayat Penciptaan Perempuan dalam Al-Qur’an




Penafsiran Ayat Penciptaan Perempuan dalam Al-Qur’an
oleh : Nur Zen Ismail S.Ud
            Allah SWT memuliakan perempuan begitu rupa dengan diabadikan jenis kelamin ini menjadi nama surat al-Qur’an (an-Nisa’ artinya wanita). Al-Qur’an tidak pernah mendeskreditkan segala yang berkaitan dengan perempuan terhadap mitra jenisnya. Misalnya dalam surat an-Nahl(16): 97 “Barang siapa mengerjakan kebaikan, baik pria maupun wanita,sedang ia beriman, niscaya Kami hidupkan dengan kehidupan yang baik dan Kami balas mereka dengan pahala yang terlebih baik dari apa yang mereka kerjakan”, tidak ditemukan pesan al-Qur’an yang merendahkan posisi perempuan.[1]
            Al-Qur’an mengetengahkan perbedaan (laki-laki dan perempuan), ditunjukkan pada aspek peran masing-masing dalam tatanan kehidupan. Perbedaan sebagaimana diilustrasikan al-Qur’an berupa perbedaan malam dan siang yang keberadaan keduanya menjadi satu kesatuan dari ketetapan dan ketentuan Allah atau sunnatullah (diciptakan alam semesta ini selalu saling berpasangan). Misalnya dalam surat Yasin(36): 36
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.[2]

Surat al-Zariat (51): 49
 Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.[3]
            Dari lima macam bentuk penciptaan manusia di atas (dari mā’, nafs, atau anfus, thīn, turāb dan nutfah) maupun empat konsep cara penciptaan manusia, hanya Hawalah yang tidak disebutkan secara jelas atau tegas dan terinci mekanisme penciptaannya.
            Penciptaan perempuan, dalam hal ini Hawa, umumnya mengacu pada kata nafs. Dari ketiga ayat penciptaan dengan kata nafs (an-Nisa’ (4):1; al-A’raf (7):189 dan az-Zumar (39):6), seperti yang tertera di atas, yang dapat dijadikan dasar, adalah kata nafs wāhidah, minhā dan zaujahā. Redaksi seperti ini sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial. Dari sinilah tampaknya beberapa mufasir berbeda dalam menginterpretasikan pemahaman tentang penciptaan perempuan.
            Tiga ayat tersebut dengan redaksi yang sama (nafs wāhidah dengan terjemah ‘diri yang satu’) selalu menjadi rujukan atau pijakan, dan yang paling populer dalam membicarakan asal penciptaan perempuan adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’(4) ayat 1. Ayat inilah yang selalu menjadi permasalahan; apakah Hawa, pasangan Adam, sebagai seorang perempuan yang diciptakan dari nafs wāhidah seperti Adam, ataukah dari tubuh Adam sehingga termasuk konsep penciptaan yang kedua. Dalam menafsirkan ayat ini, ada dua pendapat penafsiran yang kontrovelsial, yaitu pertama, penciptaan Hawa berasal dari bagian tubuh Adam, yaitu tulang rusuk yang bengkok sebelah kiri atas. Kedua, penciptaan Hawa sama sebagaimana penciptaan Adam, yaitu dari diri atau jenis yang satu, atau jenis yang sama, tidak ada perbedaannya. Persoalan inilah sebenarnya yang menjadi inti perbedaan pandangan antara para mufasir dan para feminis muslim seperti Riffat Hassan.
            Pendapat pertama pada umumnya berasal dari ulama terdahulu. Mereka hampir sepakat mengartikannya demikian karena berpandangan bahwa nafs wāhidah diartikan Adam. Dipahami pula bahwa kata minhā ditafsirkan menjadi “Dan Allah menciptakan pasangan atau istrinya yaitu Hawa dari nafs wāhidah, yaitu dari Adam”, karena kata zaujahā arti harfiahnya adalah pasangannya tersebut diciptakan dari nafs wāhidah yang berarti Adam, para mufasir memahami bahwa pasangan atau istri Adam (wanita) diciptakan dari (tubuh) Adam sendiri.[4]
            Menurut Zamakhsyari yang dimaksud dengan nafs wāhidah adalah adam, dan zaujahā adalah Hawa yang diciptakan oleh Allah dari salah satu tulang rusuk Adam.[5] Pendapat yang sama dikemukakan oleh al-Alusi dengan menambahkan bahwa tulang rusuk yang di maksud adalah tulang rusuk sebelah kiri Adam. Berbeda dengan Zamakhsyari yang tidak mengemukakan dalil atau syahid, Alusi mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
 Saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya. Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan mematahkannya, (tapi) kalau engkau biarka, dia akan tetap bengkok”. (H.R Bukhari Muslim)

            Di samping itu Alusi mengutip penafsiran lain dari Abu Muslim tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan sekaligus membantahnya. Menurut Abu Muslim Allah tidak menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, tapi dari tanah seperti penciptaan Adam. Apa gunanya Allah menciptakan hawa dari tulang rusuk padahal Dia mampu menciptakannya dari tanah? Dengan pengertian seperti itu, bagi Abu Muslim, yang di maksud dengan kalimat wa khalaqa minhā zaujahā adalah, Dia menciptakan hawa dari jenis yang sama dengan Adam (maksudnya manusia) seperti dalam firman-Nya....ja’ala lakum min anfusikum azwāja (Dia menjadikan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri).[6]
            Alusi menolak pendapat Abu Muslim di atas dengan argumentasi bahwa, andaikata benar seperti yang dikatakan Abu Muslim itu, maka tentu manusia, makhluk yang diciptakan tidak dari satu diri (min nafs wāhidah), tapi dari dua diri (min nafsain). Hal ini tentu bertentangan dengan nash ayat itu sendiri dan akhbar shahīhah dari Rasulullah SAW. Sedangkan apa gunanya Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, padahal dia mampu menciptakan dari tanah seperti Adam, Alusi menjawab, bahwa selain hikmah yang tidak kita ketahui, adalah untuk menunjukkan bahwa Allah mampu mencitakan makhluk hidup dari makhluk hidup yang lain tanpa proses reproduksi (tawalud), sebagaimana Dia mampu menciptakan makhluk hidup dari benda mati. Andaikata kemampuan menciptakan dari tanah menjadi penghalang dari mencipta dari selain tanah dengan alasan tidak ada gunanya, tentu Dia harus menciptakan segala sesuatu dari tanah tanpa perantara. Sebagaimana Dia mampu menciptakan Adam dari tanah tentu Dia juga mampu menciptakan semua manusia dari tanah. Apa alasannya juga Allah menciptakan manusia dari manusia (reproduksi) padahal Dia mampu menciptakan manusia dari tanah seperti Adam.[7]
            Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir tedahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak akan ada.
            Adapun hadits yang dijadikan sumber dari penafsiran oleh ulama-ulama terdahulu dipahami secara harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan (kebenaran) hadits tersebut. Seperti Quraish Shihab menyatakan bahwa yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits di atas memperingatkan laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum laki-laki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[8]
            Pendapat kedua, yaitu penciptaan Hawa sebagai sosok perempuan diciptakan dari nafs wāhidah (artinya jenis yang satu atau jenis yang sama) sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan Hawa.[9] Imam al-Maraghi di dalam tafsirnya al-Maraghi, secara tegas menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sedikitpun tidak mendukung pemahaman yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana ditemukan dalam beberapa riwayat. Penciptaan Hawa sebagai sosok wanita diciptakan dari nafs wāhidah (artinya jenis yang satu atau jenis yang sama) sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam maupun Hawa.[10]
            Dari beberapa penafsiran tentang penciptaan perempuan di atas, terdapat dua pendapat. Pertama dikemukakan oleh az-Zamakhsyari dan al-Alusi yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Kedua dikemukakan oleh al-Maraghi, yaitu Hawa diciptakan sama jenisnya dari Adam. Pendapat pertama menafsirkan dengan berdasarkan dari hadits Nabi tentang tulang rusuk yang dipahami secara harfiah. Berbeda dengan Quraish Shihab yang menyatakan bahwa hadits tersebut dapat dipahami secara metafora.


[1] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Jender dalam Tafsir Al-Qur’an, LKiS, Yogyakarta, 1999, hal. 42
[2] Al-Qur’an, Surat Yasin, ayat 36 , Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama, Jakarta, 1987, hal. 710
[3] Al-Qur’an, Surat az-Zariat, ayat 49 , Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama, Jakarta, 1987, hal.  862
[4] Zaitunah Subhan, Op. Cit, hal. 45
[5]Abu Al-Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar Az-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq at-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh at-Ta’wīl, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, 1977, hal. 492
[6] Abu al-Fadhl Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi, Rūh al-Ma’āni fī Tafsīr Al-Qur’an al-‘Adzīm wa as-Sab’i al-Matsāni, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hal. 281
[7] Ibid, hal. 283     
[8] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1998, hal. 300
[9] Zaitunah Subhan, Op. Cit, hal. 47
[10] A. Musthofa al- Maraghi, Tafsīr al- Marāghī, Dar al-Fikr, Beirut t.th., hal. 175

Studi Analisis Tafsir Feminis Perspektif Riffat Hassan



BAB I
PENDAHULUAN
oleh : Nur Zen Ismail S.Ud

A.  Latar Belakang Masalah
Sehingga Islam datang dengan membawa misi besar, yakni rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta). Untuk menyebarkan rahmat bagi semua ini, Islam juga membawa misi utama untuk terwujudnya kemaslahatan, keadilan, dan kebebasan. Semua aturan Islam, terutama yang tertuang dalam Al-Qur’an  menjadi bukti akan hal tersebut. Kalaupun kemudian muncul banyak penafsiran yang menyimpang dari misi-misi tersebut, hal ini karena adanya penafsiran terhadap Al-Qur’an yang didasari oleh konteks sosial budaya yang melingkupi para penafsirnya, atau juga karena pemahamanyang literal terhadap teks-teks hadis Nabi Muhammad Saw.[1] 
Masalah perempuan selalu menarik untuk diperbincangkan. Sejak dulu perempuan sering menjadi isu yang terus diamati. Dengan pengamatan sepintas saja, tanpa harus melalui penelitian yang seksama, setiap pengamat masalah-masalah perempuan dapat melihat bahwa perempuan sepanjang sejarah peradaban manusia hanya memainkan peran sosial-ekonomi apalagi politik yang kecil apabila dibandingkan dengan peran laki-laki. Sebaliknya peran domestik perempuan lebih menonjol, baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga.
Perbedaan gender tersebut dapat mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype (pola dasar) yang oleh masyarakat dianggap ketentuan kodrati atau ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotype yang dilekatkan pada perempuan, yang sebenarnya hanyalah rekayasa sosial (sebagaimana teori natural atau biasa disebut social construction). Akhirnya terkukuhlah menjadi kodrat kultural yang dalam proses berabad-abad telah mengakibatkan terpinggirkannya posisi perempuan.[2]
Seperti contohnya di Indonesia sendiri yang mayoritas penduduknya muslim, kaum perempuan masih di anggap sebagai kelas dua oleh sebagian masyarakat. Sehingga apresiasi terhadap perempuan belum sepenuhnya tercermin dalam pola perilaku masyarakat kita. Kelahiran anak perempuan kadang masih di anggap kurang membanggakan dibanding anak laki-laki. Perlakuan dan pola asuh terhadap anak perempuan sering masih dibedakan dengan anak laki-laki. Semua itu jika dibiarkan tentu akan berdampak pada ketidakadilan dan diskriminasi gender. Padahal al-Qur’an sebagai kitab suci secara normatif sangat menghargai perempuan.
Hal ini terlihat dalam ajaran normatif al-Qur’an yang dengan tegas memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah. Laki-laki dan perempuan sama-sama disebutkan dan dipuji dengan sifat-sifat yang baik. Mereka dijanjikan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. Allah berfirman dalam QS. al-Ahzab(33): 35

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.[3]               
Dari ayat di atas jelas bahwa antara laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah. Allah sama-sama menjanjikan kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan sebuah ampunan dan pahala yang besar. Di hadapan Allah antara laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama, yang membedakan adalah ketakwaannya masing-masing terhadap Allah SWT.                    
Seperti sudah diungkap di atas, sekalipun secara normatif al-Qur’an memihak kepada kesetaraan status laki-laki dan perempuan, tetapi secara kontekstual al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum laki-laki atas perempuan. Tetapi dengan mengabaikan konteksnya, para fuqaha, kata Asghar[4] menyayangkan, berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam pengertian normatif. Misalnya tentang status suami sebagai qawwāmūn dalam surat an-Nisa’ ayat 34.
Menurut Abdul Mustaqim ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa kaum perempuan mengalami bias (ketimpangan) gender, sehinga mereka belum setara. Pertama, budaya patriarkhi yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik, yang belum sepenuhnya berpihak pada kaum perempuan. Ketiga, faktor ekonomi di mana sistem kapitalisme global yang melanda dunia, seringkali justru mengeksploitasi kaum perempuan. Keempat, faktor interpretasi  teks-teks agama yang bias gender, selama ini penafsiran-penafsiran al-Qur’an didominasi ideologi patriarkhi.[5] Ini bisa dimengerti, sebab memang kebanyakan para mufasir adalah laki-laki, sehingga mereka kurang mengakomodir kepentingan kaum perempuan.[6]
Menurut kaum feminis, penindasan dan pemerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat salah satu saja dari fenomena ketidakadilan gender. Secara lebih lengkap Mansour Fakih, seorang feminis Muslim Indonesia menyebutkan lima fenomena ketidakadilan gander lainnya, yaitu: (1) Marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat lainya; (2) Subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting; (3) Stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya; (4) Berbagai  bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologi karena anggapan bahwa perempuan lemah dibandingkan laki-laki sehingga laki-laki leluasa melakukan kekerasan terhadap perempuan; (5) Pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Akibatnya perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit.[7]
Isu tentang ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang sering menjadi sorotan atau yang di anggap sebagai dasar akan adanya ketimpangan gender adalah mengenai isu tentang penciptaan perempuan. Isu ini juga merupakan isu yang sangat penting yang diperbincangkan dalam feminisme. Hal ini disebabkan karena konsep kesetaraan dan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini. Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara terperinci tentang asal usul penciptaan perempuan, akan tetapi ayat al-Qur’an yang biasa ditafsirkan sebagai ayat yang menjelaskan tentang penciptaan perempuan adalah ayat pertama dalam surat an-Nisa’, sebagai berikut:
ƒ 
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”[8]

Selama ini, oleh para mufasir patriarkhi ayat di atas ditafsirkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari laki-laki (Adam). Munculnya penafsiran semacam ini, secara sosiologis, disebabkan oleh kuatnya sistem patriarkhi yang begitu hegemonik, sehingga melahirkan penafsiran-penafsiran yang bias kelelakian. Di samping itu, hal itu juga dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Yahudi Nasrani melalui kepustakaan hadits, yang sering disebut dengan cerita atau hadits-hadits isrāīliyyat.[9]
Melihat fenomena seperti di atas, maka muncullah para feminis, yaitu mereka yang sadar akan adanya ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat dan melakukan tindakan sadar untuk mengubahnya. Beberapa diantaranya melacak munculnya ketidakadilan itu dari kontruksi teologis yang dibangun dan dibentuk selama ini atas status ontologis dari perempuan. Salah satu feminis dari ranah teologi Islam yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah Riffat Hassan dari Pakistan.
Riffat Hassan adalah salah satu seorang tokoh feminis muslim yang lahir di Lahore Pakistan. Riffat berasal dari keluarga yang cukup terpandang, yakni keluarga sayyid (sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad SAW dalam tradisi Arab). Ayahnya, yang bernama Begum Shahiba adalah seorang yang sangat konserfatif di daerahnya. Pandangannya sangat tradisional patriarkhal. Sedangkan ibunya mempunyai pandangan yang berseberangan dengan ayahnya. Ibunya cenderung berpandangan feminis, di mana ia mempunyai perhatian yang sagat besar terhadap nasib perempuan. Dari ibunyalah Riffat termotivasi untuk menjadi seorang feminis.[10]
Riffat adalah seorang yang mementingkan pendidikan. Ia tidak mau menjadi seorang perempuan yang selalu didiskriminasi, yang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi haknya sebagai manusia yang juga bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi seperti laki-laki. Terbukti ia dapat mendapatkan gelar Ph.D bidang filsafat di St. Mary’s College Univercity Durham, dengan desertasinya tentang filsafat Muhammad Iqbal (seorang penyair dan filosof dari Pakistan).[11] Riffat merupakan seorang tokoh feminis yang cukup produktif, sehingga melahirkan banyak karya, antara lain: 1). The Role and Responsibility of Women in Legal and Ritual Tradition of Islam, 2). Equal before Allah, 3). Feminist Theology and Women in The Muslim World. Karya-karya lain yang berupa artikel antara lain berjudul Muslim Women and Post Patriarchal Islam, The Issu of Women-Men Equality in Islam Tradi-tion, Jihad fi Sabilillah dan lain sebagainya.
Sebagai seorang tokoh feminis Riffat ingin membangun paradigma yang lebih segar dalam melihat isu-isu tentang gender. Beliau mencoba melakukan kajian kritis, terhadap produk tafsir konvensional yang dianggap bias patriarkhi. Selain itu beliau juga melakukan kajian kritis terhadap hadits-hadits Nabi SAW yang dipandang kurang apresiatif, bahkan terkesan misoginis (membenci) terhadap perempuan.
Menurut Riffat, selama ini sumber-sumber yang menjadi landasan tradisi Islam terutama al-Qur’an, al-Hadits, dan fiqih didominasi penafsirannya oleh kaum laki-laki. Merekalah yang mendefinisikan baik secara ontologis, teologis, sosiologis maupun eskatologis tentang kedudukan perempuan.[12] Tidaklah mengherankan, jika kemudian penafsiran tersebut cenderung bias patriarkhi sehingga membawa implikasi sosiologis ke arah semakin kuatnya hegemoni dan dominasi kaum laki-laki atas perempuan.
Riffat rupanya ingin melakukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi terhadap konsep-konsep yang terkait dengan isu gender dari berbagai sudut pandang, baik sosiologis, psikologis, antropologis maupun teologis. Meskipun kemudian beliau lebih menekankan pada aspek teologisnya. Riffat mencoba menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an yang relatif berbeda, bahkan kontroversial dengan produk tafsir klasik sebelumnya.
Al-Qur’an tidak memandang kedudukan perempuan lebih rendah di banding laki-laki, keduanya mempunyai kedudukan yang sama. Diskriminasi dan segala macam ketidakadilan gender yang menimpa perempuan dalam lingkungan umat Islam menurutnya berakar dari pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber ajaran islam yaitu kitab suci al-Qur’an. Karena selama ini konstruksi penafsiran al-Qur’an cenderung didominasi oleh kepentingan laki-laki, mengingat bahwa kebanyakan para mufassir adalah laki-laki, sehingga kurang mengakomodir kesadaran kaum perempuan.[13] Untuk itu, Riffat ingin melakukan semacam dekonstruksi dan rekonstruksi penafsiran, dengan menafsirkan dari perspektif dan optik perempuan. Adapun dekonstruksi yang dilakukan oleh Riffat kaitannya dengan isu-isu gender diaplikasikan dalam menafsirkan konsep tentang penciptaan perempuan, kemudian ia melakukan rekonstruksi dengan merumuskan teologi baru bagi konsep kesetaraan perempuan.
Dalam hal ini penulis memilih Riffat Hassan karena Riffat merupakan seorang tokoh feminis yang sangat kontroversial dan sangat berpengaruh dalam permasalahan yang berhubungan dengan feminisme. Beliau juga cukup berani melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap produk tafsir, khususnya yang berkaitan dengan isu-isu gender.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut pemahaman Riffat Hassan tentang konsep penciptaan perempuan dengan menggunakan metode yang lebih sensitif gender, yang penulis angkat dengan judul “Studi Analisis Tafsir Feminis Perspektif Riffat Hassan tentang Penciptaan Perempuan dalam Al-Qur’an”

B.  Fokus Penelitian
Berdasarkan judul di atas, maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang penafsiran Riffat Hassan yang merupakan salah seorang feminis muslim. Di sini penulis lebih memfokuskan pada penafsiran Riffat tentang konsep penciptaan perempuan dalam al-Qur’an, di mana dalam memahami konsep penciptaan perempuan tersebut Riffat menggunakan pemahaman yang  lebih sensitif gender.

C.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian yang telah diuraikan di atas, kiranya penulis dapat merumuskan satu rumusan masalah inti yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu bagaimana penafsiran Riffat Hassan tentang penciptaan perempuan dalam al-Qur’an.

D.  Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini  diharapkan mampu memberikan penjelasan yang dapat memberikan pandangan serta jawaban terhadap permasalahan di atas, yaitu untuk mengetahui penafsiran Riffat Hassan tentang penciptaan perempuan dalam al-Qur’an.



E.  Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:
1.        Secara praktis, yaitu:
a.         Untuk menambah khazanah keilmuan Islam khususnya dalam hal corak penafsiran al-Qur’an, yaitu penafsiran yang bercorak sensitif gender.
2.        Secara teoritis, yaitu:
a.         Dapat memperkaya kepustakaan Jurusan Ushuluddin khususnya jurusan tafsir hadits yang pada giliranya diharapkan dapat dijadikan studi banding oleh penulis atau peneliti lainnya khususnya dalam hal yang menyangkut masalah-masalah gender.
b.         Dapat memberikan kontribusi dalam bidang keilmuan tentang tafsir khususnya yang berkaitan dengan penafsiran dalam persprektif gender menurut Riffat Hassan.

F.   Tinjauan  Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan istilah untuk mengkaji bahan atau literatur kepustakaan (literatur review). Bentuk kegiatan ini adalah berupa pemaparan pengetahuan, dalil-dalil, konsep atau ketentuan yang telah dikemukakan penelitian sebelumnya, serta mendeskripsikan permasalahan-permasalahan yang telah diungkapkan dan ditemukan oleh peneliti sebelumnya yang terkait dengan obyek yang akan dibahas oleh penulis.
Sejauh pengetahuan penulis sudah ada beberapa karya ilmiah tentang penciptaan perempuan dan pemikiran Riffat Hassan. Seperti desertasinya Abdul Mustaqim yang berjudul “Paradigma Tafsir Feminis, Membaca Al-Qur’an dengan Optik Perempuan”. Dalam karya tersebut membahas tentang pemikiran Riffat Hassan secara kritis-filosofis, dan ada sub bab yang membahas tentang konsep penciptaan dan kesetaraan perempuan. Namun penelitian tersebut lebih membahas pada bagaimana pemikiran Riffat secara kritis-filosofis, baik mengenai akar-akar pemikirannya, metodologinya, konstruksi dan implikasi pemikirannya. Dan dalam karya Abdul Mustaqimm lain  yang berjudul “Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir”. Dalam karya tersebut membahas tentang metodologi tafsir perspektif gender yang sebagai tokohnya adalah Riffat Hassan.
Inilah penelitian-penelitian yang sejauh ini bisa penulis ketahui mengenai pemikiran Riffat Hassan. Adapun tulisan yang secara khusus yang membahas tentang penciptaan perempuan menurut Riffat Hassan tampaknya belum ada, sehingga penelitian ini diharapkan dapat mengisi celah yang belum dilakukan dalam penelitan sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu dalam penelitian ini membahas secara detail dan menangkap secara utuh mengenai pemahaman Riffat Hassan tentang penciptaan perempuan dalam al-Qur’an, serta bagaimana implikasinya terhadap studi gender. Sedangkan dari penelitian terdahulu lebih membahas tentang bagaimana pemikiran Riffat Hassan secara umum.

G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab. Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran yang utuh dan terpadu mengenai masalah yang akan diteliti. Oleh sebab itu, penulis akan mendeskripsikan pembahasan penelitian ini sebagai berikut:
Bab I                      :  Pendahuluan
Dalam bab ini terdiri dari :
A.           Latar belakang masalah
B.            Fokus penelitian
C.            Rumusan masalah
D.           Tujuan penelitian
E.            Manfaat penelitian
F.             Tinjauan pustaka
G.           Kerangka teori
H.           Sistematika penelitian


Bab II                      :  Landasan Teori
                                 Pada dasarnya bab dua ini merupakan landasan teori terhadap pembahasan tentang penciptaan perempuan dalam al-Qur’an dan feminisme. Bab ini terdiri dari
A.    ayat-ayat tentang penciptaan perempuan,
B.     penafsiran ayat tentang penciptaan perempuan dalam al-Qur’an,

Bab III                     : Metode Penelitian
                                 Dalam bab ini memuat tentang metode penelitian yang mencakup jenis dan pendekatan penelitian, sumber data meliputi data primer dan data sekunder, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab IV                     : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini akan meliputi biografi, metodologi dan pendekatan yang digunakan Riffat Hassan, dan penafsiran Riffat Hassan tentang penciptaan perempuan.
Bab V                    : Penutup
Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.


[1] Marzuki , Perempuan dalam Pandangan Feminis Muslim, dalam FISE UNY No.2 Vol. 23 tahun 206. hal 45
[2] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Jender dalam Tafsir Al-Qur’an, LKiS, Yogyakarta, 1999, hal. 85
[3] Al-Qur’an, Surat al-Ahzab, ayat 35, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama, Jakarta, 1987, hal. 673.
[4] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf,  LSPPA, Yogyakarta, 1994, hal. 59
[5]Patriarkhi: Suatu susunan masyarakat dengan ayah atau laki-laki sebagai kepala dan keluarga, suku atau masyarakat atau kedudukan laki-laki yang diposisikan berkuasa atau superior terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan, baik domestik maupun publik.
[6]Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca Al-Qur’an dengan Optik Perempuan, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2008,  hal. 15
[7]Mansoer Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 11-20
[8] Al-Qur’an, Surat an-Nisa’, ayat 1, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama, Jakarta, 1987, hal.114
[9]Isrāīliyyat: Berita-berita yang diceritakan Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Ketika mereka masuk Islam dan membaca kisah-kisan dalam al-Qur’an terkadang mereka paparkan rincian kisah itu dalam kitab-kitab mereka.
[10] Riffat Hassan dan Fatimah Mernisi, Setara Di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, terj. Team LSPPA, Yayasan Prakarsa, Yogyakarta, 2000, hal. 6-9
[11] Ibid, hal. 25
[12]Riffat Hassan, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar di Hadapan Allah?, dalam bukunya Abdul Mustaqim, Op. Cit, hal. 72
[13]Abdul Musstaqim, Op. Cit, hal. 189