Penafsiran Ayat Penciptaan Perempuan dalam Al-Qur’an
oleh : Nur Zen Ismail S.Ud
Allah SWT
memuliakan perempuan begitu rupa dengan diabadikan jenis kelamin ini menjadi
nama surat al-Qur’an (an-Nisa’ artinya wanita). Al-Qur’an tidak pernah
mendeskreditkan segala yang berkaitan dengan perempuan terhadap mitra jenisnya.
Misalnya dalam surat an-Nahl(16): 97 “Barang siapa mengerjakan kebaikan,
baik pria maupun wanita,sedang ia beriman, niscaya Kami hidupkan dengan
kehidupan yang baik dan Kami balas mereka dengan pahala yang terlebih baik dari
apa yang mereka kerjakan”, tidak ditemukan pesan al-Qur’an yang merendahkan
posisi perempuan.[1]
Al-Qur’an
mengetengahkan perbedaan (laki-laki dan perempuan), ditunjukkan pada aspek
peran masing-masing dalam tatanan kehidupan. Perbedaan sebagaimana
diilustrasikan al-Qur’an berupa perbedaan malam dan siang yang keberadaan
keduanya menjadi satu kesatuan dari ketetapan dan ketentuan Allah atau sunnatullah
(diciptakan alam semesta ini selalu saling berpasangan). Misalnya dalam
surat Yasin(36): 36
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan
pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.[2]
Surat al-Zariat
(51): 49
“Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.[3]
Dari
lima macam bentuk penciptaan manusia di atas (dari mā’, nafs,
atau anfus, thīn, turāb dan nutfah) maupun empat
konsep cara penciptaan manusia, hanya Hawalah yang tidak disebutkan secara
jelas atau tegas dan terinci mekanisme penciptaannya.
Penciptaan perempuan, dalam hal ini Hawa, umumnya
mengacu pada kata nafs. Dari ketiga ayat penciptaan dengan kata nafs
(an-Nisa’ (4):1; al-A’raf (7):189 dan az-Zumar (39):6), seperti yang tertera di
atas, yang dapat dijadikan dasar, adalah kata nafs wāhidah,
minhā dan zaujahā. Redaksi seperti ini sangat potensial untuk ditafsirkan
secara kontroversial. Dari sinilah tampaknya beberapa mufasir berbeda dalam
menginterpretasikan pemahaman tentang penciptaan perempuan.
Tiga ayat
tersebut dengan redaksi yang sama (nafs wāhidah dengan terjemah ‘diri yang satu’) selalu menjadi rujukan
atau pijakan, dan yang paling populer dalam membicarakan asal penciptaan
perempuan adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’(4) ayat 1. Ayat inilah yang
selalu menjadi permasalahan; apakah Hawa, pasangan Adam, sebagai seorang
perempuan yang diciptakan dari nafs wāhidah seperti Adam, ataukah dari tubuh Adam sehingga
termasuk konsep penciptaan yang kedua. Dalam menafsirkan ayat ini, ada dua
pendapat penafsiran yang kontrovelsial, yaitu pertama, penciptaan Hawa berasal
dari bagian tubuh Adam, yaitu tulang rusuk yang bengkok sebelah kiri atas.
Kedua, penciptaan Hawa sama sebagaimana penciptaan Adam, yaitu dari diri atau
jenis yang satu, atau jenis yang sama, tidak ada perbedaannya. Persoalan inilah
sebenarnya yang menjadi inti perbedaan pandangan antara para mufasir dan para
feminis muslim seperti Riffat Hassan.
Pendapat pertama
pada umumnya berasal dari ulama terdahulu. Mereka hampir sepakat mengartikannya
demikian karena berpandangan bahwa nafs wāhidah diartikan Adam. Dipahami pula bahwa kata minhā ditafsirkan menjadi “Dan Allah menciptakan
pasangan atau istrinya yaitu Hawa dari nafs wāhidah, yaitu dari Adam”, karena kata zaujahā arti harfiahnya adalah pasangannya tersebut
diciptakan dari nafs wāhidah
yang berarti Adam, para mufasir memahami bahwa pasangan atau istri Adam
(wanita) diciptakan dari (tubuh) Adam sendiri.[4]
Menurut
Zamakhsyari yang dimaksud dengan nafs wāhidah adalah adam, dan zaujahā adalah Hawa yang diciptakan oleh Allah dari salah
satu tulang rusuk Adam.[5] Pendapat yang sama
dikemukakan oleh al-Alusi dengan menambahkan bahwa tulang rusuk yang di maksud
adalah tulang rusuk sebelah kiri Adam. Berbeda dengan Zamakhsyari yang tidak
mengemukakan dalil atau syahid, Alusi mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim:
“Saling
berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari
tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling
atasnya. Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan
mematahkannya, (tapi) kalau engkau biarka, dia akan tetap bengkok”. (H.R
Bukhari Muslim)
Di samping
itu Alusi mengutip penafsiran lain dari Abu Muslim tentang penciptaan Hawa dari
tulang rusuk Adam, dan sekaligus membantahnya. Menurut Abu Muslim Allah tidak
menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, tapi dari tanah seperti penciptaan
Adam. Apa gunanya Allah menciptakan hawa dari tulang rusuk padahal Dia mampu
menciptakannya dari tanah? Dengan pengertian seperti itu, bagi Abu Muslim, yang
di maksud dengan kalimat wa khalaqa minhā zaujahā adalah, Dia menciptakan hawa dari jenis yang sama
dengan Adam (maksudnya manusia) seperti dalam firman-Nya....ja’ala lakum min
anfusikum azwāja (Dia menjadikan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri).[6]
Alusi
menolak pendapat Abu Muslim di atas dengan argumentasi bahwa, andaikata benar
seperti yang dikatakan Abu Muslim itu, maka tentu manusia, makhluk yang
diciptakan tidak dari satu diri (min nafs wāhidah), tapi dari dua diri (min nafsain). Hal ini
tentu bertentangan dengan nash ayat itu sendiri dan akhbar shahīhah dari Rasulullah SAW. Sedangkan apa gunanya Allah
menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, padahal dia mampu menciptakan dari
tanah seperti Adam, Alusi menjawab, bahwa selain hikmah yang tidak kita
ketahui, adalah untuk menunjukkan bahwa Allah mampu mencitakan makhluk hidup
dari makhluk hidup yang lain tanpa proses reproduksi (tawalud),
sebagaimana Dia mampu menciptakan makhluk hidup dari benda mati. Andaikata
kemampuan menciptakan dari tanah menjadi penghalang dari mencipta dari selain
tanah dengan alasan tidak ada gunanya, tentu Dia harus menciptakan segala
sesuatu dari tanah tanpa perantara. Sebagaimana Dia mampu menciptakan Adam dari
tanah tentu Dia juga mampu menciptakan semua manusia dari tanah. Apa alasannya
juga Allah menciptakan manusia dari manusia (reproduksi) padahal Dia mampu
menciptakan manusia dari tanah seperti Adam.[7]
Agaknya
karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs
yang berarti Adam, para penafsir tedahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan)
diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan
negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian
dari laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak akan ada.
Adapun
hadits yang dijadikan sumber dari penafsiran oleh ulama-ulama terdahulu
dipahami secara harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya
secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan (kebenaran) hadits
tersebut. Seperti Quraish Shihab menyatakan bahwa yang memahami secara metafora
berpendapat bahwa hadits di atas memperingatkan laki-laki agar menghadapi
perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka
yang tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila tidak disadari akan dapat
mengantarkan kaum laki-laki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu
mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha
akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[8]
Pendapat kedua,
yaitu penciptaan Hawa sebagai sosok perempuan diciptakan dari nafs wāhidah (artinya jenis yang satu atau jenis yang sama)
sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan Hawa.[9] Imam al-Maraghi di
dalam tafsirnya al-Maraghi, secara tegas menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an
sedikitpun tidak mendukung pemahaman yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam sebagaimana ditemukan dalam beberapa riwayat. Penciptaan
Hawa sebagai sosok wanita diciptakan dari nafs wāhidah (artinya jenis yang satu atau jenis yang sama)
sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam maupun Hawa.[10]
Dari
beberapa penafsiran tentang penciptaan perempuan di atas, terdapat dua
pendapat. Pertama dikemukakan oleh az-Zamakhsyari dan al-Alusi yang menyatakan
bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Kedua dikemukakan oleh al-Maraghi, yaitu Hawa
diciptakan sama jenisnya dari Adam. Pendapat pertama menafsirkan dengan
berdasarkan dari hadits Nabi tentang tulang rusuk yang dipahami secara harfiah.
Berbeda dengan Quraish Shihab yang menyatakan bahwa hadits tersebut dapat
dipahami secara metafora.
[1] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias
Jender dalam Tafsir Al-Qur’an, LKiS, Yogyakarta, 1999, hal. 42
[2] Al-Qur’an, Surat Yasin, ayat 36 , Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama, Jakarta, 1987, hal. 710
[3] Al-Qur’an, Surat az-Zariat, ayat 49 , Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur’an Departemen Agama, Jakarta, 1987, hal. 862
[4] Zaitunah Subhan, Op. Cit, hal. 45
[5]Abu Al-Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar
Az-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq at-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh at-Ta’wīl,
Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, 1977, hal. 492
[6] Abu al-Fadhl Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud Afandi
al-Alusi al-Baghdadi, Rūh al-Ma’āni fī Tafsīr Al-Qur’an al-‘Adzīm wa as-Sab’i al-Matsāni,
Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hal. 281
[7] Ibid, hal. 283
[8] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan,
Bandung, 1998, hal. 300
[9] Zaitunah Subhan, Op. Cit, hal. 47